Rabu, 04 April 2018

BIOGRAFI Dr. K. H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) | X5 SMAN 1 GEGER


Dr. K. H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)



Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari 6 bersaudara dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Solichah yang lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
Abdurrahman Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat di komunitas muslim Jawa Timur. Kakeknya dari sang ayah yaitu KH Hasyim Asyari merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, kakeknya dari sang ibu yaitu KH Bisri Syansuri merupakan pengajar di pesantren yang pertama yang mengajar kelas pada perempuan. Sang ayah yaitu KH Wahid Hasyim adalah Menteri Agama pada tahun 1949 dan sang ibu merupakan putri dari pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang.
Abdurahman Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenni Wahid), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Pada tahun 1944, Abdurrahman Wahid pindah ke Jakarta, karena bulan terbit sebagai ketua pertama Partai Masyumi. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, Gus Dur kembali ke Jombang. Pada tahun 1949, Gusdur kembali lagi ke Jakarta karena insiden terpilih menjadi Menteri Agama. Gus Dur menempuh pendidikan di SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Untuk menambah pengetahuan, oleh lahir Gus Dur di ajarkan untuk membaca buku non-muslim, mjalah, dan juga koran. Pada tahun 1953, sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954, Gus Dur memulai pendidikan di SMP, namun pada tahun itu, Gus Dur tidak naik kelas dan menyanyikan ibu mengirimnya ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan SMPnya juga mengaji untuk KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak. Setelah lulus SMP pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang dan memulai pendidikan muslimnya di Pesantren Tegalrejo, Ia termasuk murid yang berbakat dan mampu menyelesaikan pendidikan pesantrennya hanya dalam waktu 2 tahun yang mundur adalah 4 tahun. Lalu pada tahun 1959, Ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang, sembari memulai pendidikannya, ia juga menerima pekerjaan sebagai guru dan kemudian menjadi seorang kepala seklah Madrasah.
Pada tahun 1963, Gus Dur mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama untuk mempelajari Studi Islam di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Kemudian pada November 1963, Ia berangkat ke Mesir. Meskipun fasihungkapan Arab, Ia harus membentuk kelas perbaikan sebelum belajar Islam dan bahasa Arab, karena Ia tidak mampu membuktikan bahwa Ia fasihisikan Arab.
Pada akhir tahun 1964, Gus Dur berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Dan pada tahun 1965 iamulai belajar tentang Studi Islam dan bahasa Arabnya. Di Mesir, Ia bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Saat sedang bekerja terjadi G30S, Kedutaan Besar Indonesia di alam diperintah untuk melakukan invesrigasi pada siswa universitas dan memberikan laporan mereka dan Gusdur memberi perintah itu, Ia ditugaskan untuk menulis laporan.
Gus Dur yang tidak setuju dengan metode pendidikan dan pekerjaannya pasca G30S yang memberikan dirinya, pada tahun 1966, Ia sendiri yang harus mengulang kembali belajarnya. Pendidikan prasarjana Wahid selamat karena beasiswa yang di terimanya di Universitas Baghdad, Irak. Pada tahun 1970, Gus Dur Peduli pendidikannya di Universitas Baghdad dan Ia pergi ke Belanda untuk pendidikan tinggi di Universitas Leiden, namun Ia harus menelan kekecewaan karena pendidikan di Universitas Baghdad kurang di akui. Sebelum pulang ke Indonesia pada tahun 1971, Gus Dur pergi ke Jerman dan Perancis.
Setelah kembali ke Jakarta, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yaitu sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual progresif dan sosial demokrat. LP3ES dilengkapi dengan Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributornya, sebagai kontributor besar untuk pesantren dan majalah di Jawa. Gusdur merasa prihatin dengan kemiskinan yang dialami pesantren.
Abdurrahman Wahid terus mengembangkan karirnya sebagai seorang jurnalis, artikel yang ditulisnya dan diterbitkannya sebagai komentator sosial. Karena hal tersebut, Gus Dur mendapat banyak undangan untuk membeikan seminar dan kuliah namun hal tersebut harus bolak balik Jakarta-Jombang.
Gus Dur bergabung di NU setelah tiga kali tawaran dari kakeknya, sebelumnya Gus Dur menolak untuk bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU sebanyak 2 kali. Bergabung dengan NU, Gus Dur mendapatkan pengalaman politik pertama yaitu Ia ikut berkampaye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu sebuah partai islam yang merupakan gabungan dari 4 partai islam termasuk NU dalam Pemilu Legilatif 1982.
Pada tanggal 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan ketua NU yaitu Idham Chalid, dan memintanya untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Awal Idham menolak mundur dari jabatannya namun akhirnya tetap Idham mundur.
Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur terpilih menjadi ketua umum PBNU. Pada tahun 1985, Gus Dur ditunjuk Soeharto untuk menjadi Indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Gusdur lebih menunjuk KAP nya terhadap rezim orde baru dengan mengkritik PPP dalam pemilu legislatif 1987 dan Ia menarik partai Golkar, kemudian menjadi anggota MPR represent Golkar.
Di masa jabatan pertama sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur tetap fokus dalam sistem pendidikan dan pendidikan yang mampu mengembangkan sekolah sekuler. Pada tahun 1987, Gus Dur mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk membahas dan menyediakan interpretasi teks Muslim.
Pada Musyawarah Nasional 1989, Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU. Pada Desember 1990, berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia yang diketuai oleh BJ Habibie. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI mengajak Gus Dur bergabung namun Gus Dur menolak karena Ia menganggap ICMI mendukung sektarianisme yang akan membuat Soeharto menjadi tetap kuat. Gus Dur melakukan perlawanan terhadap ICMI dengan menyediakan Forum Demokrasi.
Pada Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur kembali menjadi Ketua NU dan Ia mulai melakukan aliansi politik dengan Megawati Soekarno Putri. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto untuk memberikan konsep Komite Reformasi, namun mereka semua menolaknya.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, setelah itu muncul partai politik baru seperti PAN dan PDI-P. Pada Juni 1998, banyak orang komunitas NU presar Gus Dur mendirikan partai politik dan permintaan pada bulan Juli, Wahid. Pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
Pada November 1998, Di Ciganjur Gus Dur bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam pemilu legislatif, PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Namun, karena PDI-P tidak memiliki kursi penuh, tetapi ada juga Aliansi dengan PKB. Pada bulan Juli, Amien Rais membentuk Poros tengah yaitu koalisi partai-partai Muslim.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi mengumumkan bahwa Abdurrahman Wahid yang akan dicalonkan sebagai presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali bergabung untuk memulai pemilihan presiden baru, kemudian Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia ke-4 dengan memperoleh 373 suara.
Pada masa pemerintahannya, Ia membentuk Kabinet Persatuan Nasional yaitu koalisi yang anggotanya berasal dari berbagai partai politik, seperti: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK) termasuk juga Non-partisan dan TNI. Kemudian Gus Dur melakukan dua reformasi, reformasi pertama yaitu membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media dan reformasi kedua yaitu membubarkan Departemen Sosial yang korup.
Pada hari Rabu, 30 Desember 2009, Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 Ia meninggal dunia akibat sumbatan pada arterinya.
Berikut adalah beberapa buku karya Gus Dur: Islam dalam Cinta dan Fakta, Gus Dur Bertutur, 90 Menit Bersama Gus Dur, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, Khazanah Kiai Bisri Syansuri; Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, Umat ​​Bertanya Gus Dur Menjawab, dll.

DWI SULISTYA W (12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar