Abdurrahman Wahid
adalah anak pertama dari 6 bersaudara dari pasangan KH Wahid Hasyim dan
Solichah yang lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
Abdurrahman Wahid
lahir dalam keluarga yang sangat terhormat di komunitas muslim Jawa Timur.
Kakeknya dari sang ayah yaitu KH Hasyim Asyari merupakan tokoh pendiri
Nahdlatul Ulama, kakeknya dari sang ibu yaitu KH Bisri Syansuri merupakan
pengajar di pesantren yang pertama yang mengajar kelas pada perempuan. Sang
ayah yaitu KH Wahid Hasyim adalah Menteri Agama pada tahun 1949 dan sang ibu
merupakan putri dari pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang.
Abdurahman Wahid
menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alissa Qotrunnada,
Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenni Wahid), Anita Hayatunnufus, dan Inayah
Wulandari.
Pada tahun 1944,
Abdurrahman Wahid pindah ke Jakarta, karena bulan terbit sebagai ketua pertama
Partai Masyumi. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, Gus Dur kembali ke
Jombang. Pada tahun 1949, Gusdur kembali lagi ke Jakarta karena insiden
terpilih menjadi Menteri Agama. Gus Dur menempuh pendidikan di SD KRIS sebelum
pindah ke SD Matraman Perwari. Untuk menambah pengetahuan, oleh lahir Gus Dur
di ajarkan untuk membaca buku non-muslim, mjalah, dan juga koran. Pada tahun
1953, sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954, Gus
Dur memulai pendidikan di SMP, namun pada tahun itu, Gus Dur tidak naik kelas
dan menyanyikan ibu mengirimnya ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan SMPnya
juga mengaji untuk KH. Ali Maksum
di Pondok Pesantren Krapyak. Setelah lulus SMP pada tahun 1957, Gus Dur pindah
ke Magelang dan memulai pendidikan muslimnya di Pesantren Tegalrejo, Ia
termasuk murid yang berbakat dan mampu menyelesaikan pendidikan pesantrennya
hanya dalam waktu 2 tahun yang mundur adalah 4 tahun. Lalu pada tahun 1959, Ia
pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang, sembari memulai pendidikannya, ia
juga menerima pekerjaan sebagai guru dan kemudian menjadi seorang kepala seklah
Madrasah.
Pada tahun 1963, Gus
Dur mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama untuk mempelajari Studi Islam
di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Kemudian pada November 1963, Ia berangkat
ke Mesir. Meskipun fasihungkapan Arab, Ia harus membentuk kelas perbaikan
sebelum belajar Islam dan bahasa Arab, karena Ia tidak mampu membuktikan bahwa
Ia fasihisikan Arab.
Pada akhir tahun 1964,
Gus Dur berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Dan pada tahun 1965 iamulai
belajar tentang Studi Islam dan bahasa Arabnya. Di Mesir, Ia bekerja di
Kedutaan Besar Indonesia. Saat sedang bekerja terjadi G30S, Kedutaan Besar
Indonesia di alam diperintah untuk melakukan invesrigasi pada siswa universitas
dan memberikan laporan mereka dan Gusdur memberi perintah itu, Ia ditugaskan untuk
menulis laporan.
Gus Dur yang tidak
setuju dengan metode pendidikan dan pekerjaannya pasca G30S yang memberikan
dirinya, pada tahun 1966, Ia sendiri yang harus mengulang kembali belajarnya.
Pendidikan prasarjana Wahid selamat karena beasiswa yang di terimanya di
Universitas Baghdad, Irak. Pada tahun 1970, Gus Dur Peduli pendidikannya di
Universitas Baghdad dan Ia pergi ke Belanda untuk pendidikan tinggi di
Universitas Leiden, namun Ia harus menelan kekecewaan karena pendidikan di
Universitas Baghdad kurang di akui. Sebelum pulang ke Indonesia pada tahun
1971, Gus Dur pergi ke Jerman dan Perancis.
Setelah kembali ke
Jakarta, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yaitu sebuah organisasi yang terdiri dari kaum
intelektual progresif dan sosial demokrat. LP3ES dilengkapi dengan Prisma dan
Wahid menjadi salah satu kontributornya, sebagai kontributor besar untuk
pesantren dan majalah di Jawa. Gusdur merasa prihatin dengan kemiskinan yang
dialami pesantren.
Abdurrahman Wahid
terus mengembangkan karirnya sebagai seorang jurnalis, artikel yang ditulisnya
dan diterbitkannya sebagai komentator sosial. Karena hal tersebut, Gus Dur
mendapat banyak undangan untuk membeikan seminar dan kuliah namun hal tersebut
harus bolak balik Jakarta-Jombang.
Gus Dur
bergabung di NU setelah tiga kali tawaran dari kakeknya, sebelumnya Gus Dur menolak untuk
bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU sebanyak 2 kali. Bergabung dengan NU,
Gus Dur mendapatkan pengalaman politik pertama yaitu Ia ikut berkampaye untuk
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu sebuah partai islam yang merupakan
gabungan dari 4 partai islam termasuk NU dalam Pemilu Legilatif 1982.
Pada tanggal 2 Mei
1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan ketua NU yaitu Idham Chalid, dan
memintanya untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Awal Idham menolak mundur
dari jabatannya namun akhirnya tetap Idham mundur.
Pada Musyawarah
Nasional 1984, Gus Dur terpilih menjadi ketua umum PBNU. Pada tahun 1985, Gus
Dur ditunjuk Soeharto untuk menjadi Indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987,
Gusdur lebih menunjuk KAP nya
terhadap rezim orde baru dengan mengkritik PPP dalam pemilu legislatif 1987 dan
Ia menarik partai Golkar, kemudian menjadi anggota MPR represent Golkar.
Di masa jabatan
pertama sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur tetap fokus dalam sistem pendidikan
dan pendidikan yang mampu mengembangkan sekolah sekuler. Pada tahun 1987, Gus
Dur mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan
forum individu sependirian dalam NU untuk membahas dan menyediakan interpretasi
teks Muslim.
Pada Musyawarah
Nasional 1989, Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU. Pada Desember 1990, berdiri
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia yang diketuai oleh BJ Habibie. Pada tahun
1991, beberapa anggota ICMI mengajak Gus Dur bergabung namun Gus Dur menolak
karena Ia menganggap ICMI mendukung sektarianisme yang akan membuat Soeharto
menjadi tetap kuat. Gus Dur melakukan perlawanan terhadap ICMI dengan
menyediakan Forum Demokrasi.
Pada Musyawarah
Nasional 1994, Gus Dur kembali menjadi Ketua NU dan Ia mulai melakukan aliansi
politik dengan Megawati Soekarno Putri. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto
bertemu pertama kalinya sejak kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Pada tanggal 19
Mei 1998, Gus Dur bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas
Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto untuk memberikan konsep Komite
Reformasi, namun mereka semua menolaknya.
Pada 21 Mei 1998,
Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, setelah itu muncul partai
politik baru seperti PAN dan PDI-P. Pada Juni 1998, banyak orang komunitas NU presar Gus Dur
mendirikan partai politik dan permintaan pada bulan Juli, Wahid. Pembentukan
PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua
partai.
Pada November 1998, Di
Ciganjur Gus Dur bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X
kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB
secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pada Juni 1999, partai
PKB ikut serta dalam pemilu legislatif, PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P
memenangkan 33% suara. Namun, karena PDI-P tidak memiliki kursi penuh, tetapi
ada juga Aliansi dengan PKB. Pada bulan Juli, Amien Rais membentuk Poros tengah
yaitu koalisi partai-partai Muslim.
Pada 7 Oktober 1999,
Amien dan Poros Tengah secara resmi mengumumkan bahwa Abdurrahman Wahid yang
akan dicalonkan sebagai presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato
pertanggungjawaban Habibie. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali bergabung untuk
memulai pemilihan presiden baru, kemudian Abdurrahman Wahid menjadi Presiden
Indonesia ke-4 dengan memperoleh 373 suara.
Pada masa
pemerintahannya, Ia membentuk Kabinet Persatuan Nasional yaitu koalisi yang
anggotanya berasal dari berbagai partai politik, seperti: PDI-P, PKB, Golkar,
PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK) termasuk juga Non-partisan dan TNI. Kemudian
Gus Dur melakukan dua reformasi, reformasi pertama yaitu membubarkan Departemen
Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media dan reformasi
kedua yaitu membubarkan Departemen Sosial yang korup.
Pada hari Rabu, 30
Desember 2009, Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 Ia meninggal dunia akibat sumbatan pada arterinya.
Berikut adalah
beberapa buku karya Gus Dur: Islam
dalam Cinta dan Fakta, Gus
Dur Bertutur, 90
Menit Bersama Gus Dur, Gus
Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, Khazanah
Kiai Bisri Syansuri; Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, Umat Bertanya Gus Dur Menjawab, dll.
DWI SULISTYA W (12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar