Rabu, 04 April 2018

Biografi Lie Augustinus Dharmawan “Malaikat” Orang Miskin | SMAN 1 GEGER


               Lie Augustinus Dharmawan  “Malaikat”  Orang Miskin







Dokter Lie Augustinus Dharmawan adalah seorang dokter berhati mulia. Dokter dengan nama kecil Lie Tek Bie ini adalah putra dari Lie Goan Hoey dan ibunya bernama Pek Leng Kiau (Julita Diana). Beliau lahir di Kota Padang pada tanggal 16 April 1946. Lie Dharmawan, begitu orang-orang kerap memanggilnya adalah seorang dokter ahli bedah umum, bedah jantung, bedah toraks, dan bedah pembuluh darah. Tidak heran jika dibelakang namanya terselip gelar yang  panjang yaitu dr.Lie Augustinus Dharmawan ,Ph.D,Sp.B,Sp.BTKV.
            Dibalik namanya yang cukup dikenal oleh banyak orang ini terselip cerita perjuangan yang tidak mudah atas apa yang telah ia raih saat ini. Lie Dharmawan kecil telah ditinggalkan ayahnya ketika berumur 10 tahun. Sepeninggal ayahnya ia hidup bersama ibu dan keenam saudaranya. Bukan perkara mudah untuk bertahan hidup bagi Lie Dharmawan kecil, karena ia terlahir dengan kondisi keluarga yang miskin dan serba kekurangan.
            Demi kelangsungan hidup keluarganya, ibu Lie Dharmawan harus bekerja keras. Semua pekerjaan ia jalani demi bertahan hidup dan demi anak-anaknya, seperti menjadi buruh cuci, buruh masak, membuat kue, hingga menjadi pencuci piring. Dengan kondisi ibunya yang demikian, Lie Dharmawan kecil tidak tinggal diam, ia membantu ibunya berjualan kue. Ia sangat kagum pada ibunya yang tidak pernah menyerah dan putus asa dalam menghadapi sesuatu serta begitu mengasihi orang miskin disekitarnya.
            Ibunya menyekolahkan Lie Dharmawan di SD Ying Shi, Padang. Setelah lulus SD ia masuk di SMP Katolik Pius. Beliau  mengenyam pendidikan menengah atas di SMA Don Bosco, Padang. Disinilah tekad Lie untuk menjadi seorang dokter datang. Tekad itu datang ketika ia melihat masyarakat sekitar yang lebih memilih pergi ke dukun saat sedang sakit daripada pergi berobat ke dokter karena keterbatasan biaya. Ditambah lagi adiknya yang meninggal dunia karena penyakit diare akut dan terlambat ditangani dokter semakin menguatkan tekad Lie Dharmawan untuk menjadi seorang dokter
            Bukan perkara mudah bagi Lie Dharmawan untuk mewujudkan cita-citanya itu. Tidak jarang ia mendapat tertawaan dari teman sekelasnya saat ia menyampaikan cita-citanya didepan kelas. Hal ini tidak lain karena Lie adalah anak orang miskin, namun Lie Darmawan beranggapan seberapa berat masalah jika dengan tekad kuat dan kerja keras pasti akan tercapai karena yang namanya kerja keras tidak pernah menghianati pengorbanan, selalu ada hasil manis dari pengorbanan itu.
            Tekadnya yang kuat itu dibarengi dengan kerja kerasnya dengan belajar sungguh-sungguh setiap harinya. Tidak lupa doa terus ia panjatkan kepada Tuhan. Setiap pukul enam pagi ia pergi ke gereja. “…Tuhan, aku mau jadi dokter yang kuliah di Jerman” adalah doa yang selalu ia ucapkan setiap di gereja. Akhirnya, Lie lulus SMA dengan prestasi yang cemerlang.
            Namun, Tuhan mungkin sedang menguji kesabaran Lie Dharmawan. Berkali-kali ia mendaftar di fakultas kedokteran yang ada di Pulau Jawa  namun tidak pernah diterima.  Akhirnya kesempatan kuliah itu ada ketika ia diterima masuk di fakultas kedokteran di Universitas ResPublica (URECA) . Kampus tersebut didirikan oleh para petinggi  Organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia tahun 1958.
            Baru beberapa hari kuliah, kampusnya dibakar oleh massa. Akhirnya, ia tidak dapat melanjutkan kuliahnya dan memutuskan untuk kerja serabutan.  Ia berani bekerja serabutan guna mengumpulkan uang untuk membeli tiket ke Jerman demi melanjutkan cita-citanya. Di usianya yang menginjak 21 tahun, barulah Tuhan menjawab setiap doanya karena pada saat itulah ia diterima di fakultas Kedokteran di Berlin Barat, Jerman.
            Kehidupannya di Jerman bukan tanpa suatu tantangan. Berbekal tekadnya yang kuat di sana ia berkuliah tanpa dukungan beasiswa. dr. Lie mulai belajar bahasa pada musim semi Oktober 1967 di Studien Kolleg Fakultas Filosofi.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. Pada kesempatan lain ia bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan. Meskipun ia harus kuliah sambil bekerja Lie Dharmawan tetaplah seorang yang berprestasi.Atas prestasinya itu Lie Dharmawan mendapatkan beasiswa. Lie Dharmawan memilih memberikan beasiswanya  untuk biaya sekolah adik-adiknya.
Selain bidang akademis, dr. Lie juga aktif berorganisasi. Ia antara lain duduk di bangku senat mewakili mahasiswa dari negara Timur Jauh serta mendirikan Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin (1971) yang bertujuan mengajak para mahasiswa Indonesia lebih aktif mengemukakan pendapat dalam forum, serta menjadi pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman (1981-1984). Akhirnya, impian Lie benar-benar terwujud, pada tahun 1914 Lie Dharmawan berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendapat gelar M.D (Medical Doctor). Setelah lulus ia melanjutkan pendidikannya di University Hospital, Cologne, Jerman.  Dari sinilah ia kemudian melanjutkan S3 di Free University Berlin. Empat tahun setelahnya ia dapat menyandang gelar Ph.D. Melalui perjuangan tanpa kenal lelah selama sepuluh tahun, Lie lulus dengan membanggakan, ia dapat lulus sebagai dokter dengan 4 gelar  sekaligus yakni ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung dan ahli bedah pembuluh darah.
Setelah sukses menjadi seorang dokter, Lie terus teringat kata-kata ibunya. “Lie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miski. Mungkin mereka akan membayar kamuberapaun tapi diam-diam mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras “. Kata-kata dari ibunya inilah yang menjadi inspirasi bagi Lie untuk mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) swasta. Gagasannya untuk membuat rumah sakit apung ini sebenarnya sejak tahun 2008 , namun bisa terealisasi pada tahun 2013. Lamanya proses ini bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan belum adanya referensi rumah sakit apung di Indonesia.
Melalui yayasan Doctor Share yang telah ia dirikan, dr. Lie berupaya menggalang bantuan moral dan materi untuk mewujudkan idenya. Dalam mewujudkan idenya ini, dr. Lie dan tim Doctor Share cukup kesulitan menemukan jenis kapal yang sesuai. Ada yang mengusulkan untuk menggunakan kapal dengan bahan fiber, namun urung karena mudah pecah ketika menabrak. Ada yang mengusulkan untuk menggunakan kapal tongkang, namun dianggap tidak layak karena badannya terlalu lebar.
Akhirnya, diputuskan menggunakan kapal nelayan yang sederhana karena dianggap memadai. Setelah jadi, kapal itupun diberi nama “Floating Hospital”. Kapal ini terbilang kapal kecil karena sejatinya hanya berukuran panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot 114 ton. Kapal ini terbagi menjadi 3 dek atau 3 bagian. Dek atas digunakan untuk para relawan dan nahkoda. Dek tengah berisi ruang steril dan ruang operasi, dek bawah untuk laboratorium. Pembangunan rumah sakit ini menghabiskan dana sekitar 3 miliar. Dana itu diperoleh dari sponsor, dimana mereka memberikan diskon untuk peralatan dan perlengkapan yang diperlukan.
Sebagai pilot project, kapal ini melakukan pelayaran perdananya pada tanggal 16-17 Maret di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.  Kapal ini mengangkut 25 dokter dan 25 orang relawan. Floating Hospital ini memberikan pelayanan kesehatan secara gratis. Pelayaran yang dilakukannya ini bukan tanpa suatu kendala. Beberapa kendala yang dialami adalah ketika melakukan operasi tidak jarang sesekali kapal bergoyang karena ombak.  Kecepatan kapal yang hanya 6-7 knot atau sekitar 13 km/jam sehingga cukup lambat. Beberapa peralatan juga belum dapat dipergunakan, misalnya alat rontgen dan tidak jarang mesin kapal mengalami sedikit masalah. Dengan adanya beberapa kendala ini, dr.Lie akan berusaha untuk memperbaiki sedikit demi sedikit kekurangan pada rumah sakit apung miliknya itu.



DITTA PUTRI SHOLEHAH (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar