Rabu, 04 April 2018

Biografi W.S Rendra,Seorang Penyair Legenda Indonesia | X5 SMAN 1 GEGER


W.S Rendra,Seorang Penyair Legenda Indonesia



WS Rendra merupakan penyair kenamaan Indonesia yang dilahirkan di Solo pada tanggal 7 November 1935. Nama lahir WS Rendra adalah Willibrordus Surendra Broto, ayahnya bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah. WS Rendra memang dilahirkan dikeluarga yang kental akan seni, tak heran jika darah seni sangat mudah merasuk dalam diri Rendra. Ayahnya adalah seorang dramawan yang merangkap sebagai guru Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di sebuah sekolah Katolik di Solo, sedangkan ibunya adalah seorang penari serimpi yang banyak di undang oleh Keraton Surakarta.

             WS Rendra menikah pertama kali dengan Sunarti Suwandi pada 31 Maret 1959 itu, Dari istri pertamanya Rendra mendapat lima anak yaitu Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta.Setelah menikah, WS Rendra kepincut dengan salah satu muridnya di Bengkel Teater yang bernama Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat. Mereka menikah pada tanggal 12 Agustus 1970. Dari pernikahan keduanya dengan Sitoresmi, Rendra dikaruniai empat anak yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.

           Rendra juga menikahi seorang gadis bernama Ken Zuraida sebagai istri ketiga, akan tetapi pernikahan ketiganya ini harus dibayar mahal dengan mengorbankan dua istri terdahulunya yaitu Sitoresmi dan Sunarti. WS Rendra harus rela menceraikan dua istrinya ini pada tahun 1979 karena tak menyetujui Rendra memiliki istri ketiga. Dari pernikahannya yang ketiga, Rendra mendapat dua anak yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
            WS Rendra menghabiskan masa kecil hingga SMA nya di Solo dengan bersekolah TK hingga SMA di Sekolah Katolik St. Yosef. Setelah lulus SMA WS Rendra pindah ke Jakarta demi meneruskan sekolah di Akademi Luar Negeri, namun ternyata sekolahan tersebut telah tutup.
WS Rendra meninggalkan Jakarta menuju kota impiannya yaitu Yogyakarta. Pilihannya jatuh pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Di fakultas ini, bakat seninya semakin tertempa dengan baik namun ia tak bisa menyelesaikan studinya di sini.
             WS Rendra kemudian mendapat tawaran beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia pun kemudian pergi ke Amerika pada tahun 1954 untuk mengambil beasiswa tersebut. Di Amerika, Rendra tak hanya berkuliah namun juga sering mengikuti seminar tentang seni dan kesusastraan atas undangan pemerintah AS di Harvard University.
Sepulang dari Amerika Serikat, Rendra sempat mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok.
               Rendra juga aktif membintangi sejumlah pertunjukan teater, yang di antaranya adalah Orang-orang di Tikungan Jalan, SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Macbeth, Oedipus Sang Raja, Kasidah Barzanji dan Perang Troya Tidak Akan Meletus.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu.. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an. Beberapa puisi karya WS Rendra antara lain: Jangan Takut Ibu, dan  Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan).


               Selain puisi, WS Rendra juga menciptakan sajak. Sajak-sajak karyanya antara lain : Rick dari Corona, Potret Pembangunan dalam Puisi, Pesan Copet kepada Pacarnya, Rendra: Ballads and Blues Poem (Terjemahan), Perjuangan Suku Naga, Blues untuk Bonnie, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak, Rumput Alang-Alang, dan Surat Cinta.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

               WS Rendra juga terkenal dengan sebutan "Si Burung Merak". Sebutan tersebut berawal ketika Rendra kedatangan tamu dari Australia. Ketika Rendra menemani tamunya yang dari Australia untuk berkeliling ke Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta, Rendra melihat seekor merak jantan yang sedang berjalan dengan diapit dua betinanya. Melihat itu, Rendra langusung berseru dengan tertawa terbahak-bahak Itu Rendra! Itu Rendra!. Mulai saat itulah julukan Si Burung Merak melekat pada dirinya.
                Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya    yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).


              
 Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

               Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.


               Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.


                 Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
WS Rendra meninggal dunia di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.10. Ia menderita penyakit jantung koroner. Dimakamkan setelah shalat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Itulah WS Rendra dengan segala kelebihan prestasi dan kontroversi kehidupannya. Kita patut mengacungi jempol untuk berbagai prestasi dan penghargaan yang berhasil diraihnya. Sebagai sastrawan besar, W.S. Rendra banyak mendapat penghargaan yaitu "Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah", "Kebudayaan Nasional (1957)", "Anugerah seni dari Departemen P&K (1969), dan "Hadiah seni dari Akademi Jakarta (1975).


MUTIA SASTAFIANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar